Melihat perjalanan sejarah tidak dapat hanya dipandang dari sisi gelapnya saja. Kita juga harus melihat pada jaman apa pelaku sejarah itu hidup dan dalam kondisi politik yang bagaiman ketika pelaku mengukir sejarahnya.
Bila sejarah semata-mata hanya melihat dari sisi kacamata politik, maka akan ada terjadi penulisan sejarah yang tidak sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada masa hidup pelaku sejarah. Penetapan Hari Jadi adalah keputusan politik dan tulisan ini bukan untuk menentangnya. Tetapi hanya akan menyibak tabir sejarah yang terjadi di Purworejo dengan sebenar-benarnya. Dengan prinsip bahwa kita tetap akan menjunjung tinggi budaya nenek moyang, yaitu “mikul dhuwur mendhem jero”
Diakui atau tidak RAA Cokronegoro I adalah pelaku sejarah yang sangat penting bagi Kabupaten Purworejo. Almarhum lahir pada hari Rabu Pahing, Tahun Ehe, 1708 Saka atau 17 Mei 1779 bertepatan dengan Bulan Romadhon, di Desa Bragolan, Distrik Jenar. Putra sulung dari pasangan Raden Bei Singowijoyo yang asli Desa Bragolan dengan Nyai Singo Wijoyo yang berasal dari Ngasinan (Banyuurip).
Semasa mudanya RAA Cokronegoro I bernama Mas Ngabei Reso Diwiryo. Saat mengabdi di Kraton Surakarta menjabat sebagai Mantri Gladag dan Panewu Gladhak. Berkat jasa-jasanya sewaktu terjadi perang Diponegoro (1825-1830) di wilayah Bagelen, pada tahun 1828 R. Ng Reso Diwiryo diangkat oleh Susuhunan Paku Buwono VI sebagai Tumenggung di Brengkelan dan bergelar KRT (Kanjeng RadenTumenggung) Cokro Joyo.
Pada tanggal 18 Desember 1830 Tumenggung Cokro Joyo ditetapkan sebagai Bupati Brengkelan. Pada saat mau dilantik menjadi bupati, KRT Cokro Joyo mengusulkan agar nama Brengkelan diganti dengan Purworejo yang bermakna awal kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan . Sehingga sejak tanggal 18 Desember 1830 lahirlah nama Kabupaten Purworejo. Adapun bupati yang pertama adalah R,Ng Reso Diwiryo atau KRT Cokro Joyo yang kemudian bergelar Raden Adipati Aryo (RAA) Cokronegoro.
RAA Cokronegoro I berhenti menjadi bupati dengan mendapat hak pensiun mulai tahun 1856. RAA Cokronegoro I wafat di usia 83 tahun pada tanggal 28 Maulud 1791 (Saka) atau 23 September 1862. Jenazahnya dimakamkan di makam Bulus Hadi Purwo yang terletak di Desa Bulus, Kecamatan Gebang, Purworejo berjarak sekitar tiga kilometer sebelah utara Kota Purworejo. Di dalam komplek makam tersebut juga dimakamkan R Ng, Prawironegoro yang sudah terlebih dulu wafat. Keduanya sejak muda telah berikrar “seboyo pati seboyo mukti” yang artinya mati bersama hidup bahagia juga bersama.
Karena itu Jasad keduanya dikubur dalam satu liang lahat agar kelak anak turunya jangan sampa terpisah. Lalu sejauh mana kedalaman cinta RAA Cokronegoro I terhadap Tanah Bagelen, semua terungkap dalam bait-bait yang ada di dalam Serat Babad Kedhung Kebo. Agar mengetahui kedalaman cinta almarhum kepada tanah kelahiranya, dipaparkan dua bait tembang dandhangggulo yang ada dalam Serat Babad tersebut Pujianya terhadap bumi kelahiranya sebagai berikut :
I
Wis kaniyang andulu kuparti
Sarasedya gya memanuh bakal
Turas teras lelabuhe
Hagnya kanthi yuwana murwani
Wahyu gupita maya
Lelakon linuhung
Bagelen wignyo reyasa
Kadiparan rerangin raseng kawihaji
Turlana saksat tambah
II
Hananopna sukarah kinarsi
Laladan Mentawis Budha harja
Jinem budi Menorehe
Lepen Bogowonto kahapyu
Alas jati sumawung hagni
Rerantan Demang-Banjar
Hawulangit Dlanggung
Ka Jenar Purwodadi
Trus Ngurutsewu alas tuwo sesiwi
Tegal sawah binanjar
RAA Cokronegoro mencipta Serat Babad Kedhung Kebo menggunakan bahasa kawi. Karena menggunakan kawisastra, orang-orang sekarang akan sulit menterjemahkanya. Supaya masyarakat mengetahui, maka arti luas dari dua bait tembang dandhanggula itu sebagai berikut :
I
Dengan sendirinya jika melihat kejadian itu
Tujuan baik akan mempunyai hasil yang baik
Berdasarkan keturunan, keakraban dan kekeluargaan
Yang pasti tinggal pada kehendak manusia itu sendiri
Yang jadi dasar adalah kesentausan budi
Sekalipun acapkali yang dihadapi maya
Kejadian yang paling besar
Selalu ada di tanah Bagelen
Mulai dari sejarah para raja
Dan jika diteliti dan didalami akan selalu bertambah
II
Karena di sini sebenarnya dimulai bentangan sejarah
Meski saat itu hanya masuk wilayah Mataram Hindu
Tetapi memang banyak pertapa di Menoreh
Yang dikelilingi Sungai Bowonto mengalir damai
Disana pula letak hutan jati tua dengan bunga
Kemerahan
Diselingi rumah Kademangan dengan halaman luas
Dari Awu-awu Langit konon
Terus Ke Jenar dan Purwodadi
Kemudian Pantai Selatan hutan tua yang terus
Berkembang
Pekarangan dan sawah indah berselang seling.
Lewat dua bait kidung yang ada di dalam Serat Babad Kedhung Kebo dapat diketahui bahwa RAA Cokronegoro I tetap ingat pada masa perang Diponegoro yang mengakibatkan banyak korban. Kemudian berusaha meyakinkan bahwa apa yang dikerjakan demi kebaikan dan dengan tujuan baik maka hasilnya juga akan baik.
Meski untuk menuju kebaikan harus bertempur dengan orang yang satu darah atau keturunan, sahabat karib atau bahkan keluarganya. Ini menjadi bukti apa yang terjadi memang sudah jadi kehendak manusia masing-masing. Sedang tujuan itu bisa tercapai hanya karena kesentausan budi. Kendatai acapkali yang dihadapi hanya harapan maya. Tetapi semua kisah paling besar selalu terjadi dan berawal dari Tanah Bagelen.
Hal itu sudah menjadi kenyataan sejak para raja dahulu kala dan bila dipahami semua bukti akan selalu bertambah. Pada baris terakhir bait pertama RAA Cokronegoro I ingin mengatakan pada semua orang kalau dirinya mempunyai perkamen atau catatan-catatan kono tentang Tanah Bagelen secara lengkap.
Berdasarkan perkamen tersebut dirinya punya keyakinan sejarah besar, peristiwa besar dan perang besar selalu dimulai dan terjadi di Tanah Bagelen. Baris pertama bait berikutnya ditegaskan bahwa Tanah Bagelen sebenarnya awal dari bentangan sejarah yang ada. Kendati waktu dulu tercatat hanya sebagai wilayah Kerajaan Mataram Hindu.
Tetapi di Pegunungan Menoreh merupakan tempat para pertapa dan brahmana. Pegunungan tersebut dikelilingi Sungai Bogowonto yang mengalir damai. Di sana pula terletak hutan jati dengan bunga kemerahan. Disela-selanya terdapat rumah kademangan dengan halaman luas.
Pemandangan itu terlihat sejak dari Awu-Awu Langit, terus ke Jenar dan Purwodadi. Kemudian ke Pantai Selatan dengan hutan yang terus berkembang. Pekarangan dan sawah indah kelihatan berselang seling. Pujian RAA Cokronegoro terhadap Tanah Bagelen masih bisa dilihat dalam sekar Dandhanggula berikutnya. Beberapa baris dalam kidung tersebut sebagai berikut :
“Ngare reja lan rawane
Suburing lepen Sindhu
Prasetya Siluganggeni”
Arti luasnya sebagai berikut :
“Lembah subur dengan rawa-rawanya.
Kesuburan terjadi karena sungai tak pernah kering.
Keadaanya mirip Sungai Gangga yang terkenal”
Lewat Serat Babad Kedhung Kebo menjadi bukti kecintaan RAA Cokronegoro terhadap tanah leluhur yang semula milik Kraton Surakrta. Semasa Menjabat sebagai Bupati Purworejo, RAA Cokronegoro cukup menonjol dalam bidang membangun daerahnya. Cukup banyak hasil karya RAA Cokronegoro yang sampai sekarang masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Diantaranya Masjid Agung Purworejo, Bedhug Pendhawa, Pendopo Kabupaten Purworejo, Selokan Kedung Putri, Dam Boro, Bendung Panungkulan, jalan raya Purworejo – Magelang dan Purworejo – Buntu (Banyumas) serta jalan raya dalam Kota Purworejo. Karya tersebut merupakan karya-karya monumental yang hingga kini sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Malihat kenyataan tersebut maka tidaklah berlebihan bila RAA Cokronegoro I lantas disebut sebagai Bapak Pembanguan Kabupaten Purworejo. Sayangnya sejarah sudah menulis lain tentang RAA Cokronegoro I. Karya besar yang sudah dikerjakan pada masa hidupnya seakan terhapus begitu saja hanya karena keputusan politik yang bersifat sesaat.
mau tanya hubungannya dengan Trah Gagak (gagak Handoko, Gagak Wilogo, Gagak Pranolo dst) thx
BalasHapusNahh mas coba bisa d spill ga, soalnya kata nenek saya masih turunan trah gagak katanya.
HapusKalo gak salah gagak wilogo
HapusAssalamu'alaikum...
HapusSaya sedang mencari bakung pisah dari Trah Gagak Wilogo, apakah njenengan masih garisnya Gagak Wilogo ?