Boleh saja ada sekelompok orang
yang mencaci dan berusaha melupakan jasa-jasa Cokronegoro I terhadap daerahnya.
Ada juga beberapa orang yang berpikiran negatif terhadap Cokronegoro I.
Terlepas dari semua anggapan tersebut, mau tidak mau, suka tidak suka harus
diakui jika hasil karya Cokronegoro sampai sekarang masih sangat bermanfaat
bagi masyarakat luas.
Sebut saja irigasi Kedung Putri, hingga kini tetap mampu
menghidupi jutaan petani dan sangat membantu masyarakat umum. Jalan raya Purworejo-Magelang, dan Banyumas,
sampai sekarang belum tergantikan dan tak terhitung anak manusia yang
memanfaatkannya. Dilihat dari sisi pembanguan fisik yang sudah dilaksanakan
oleh Cokronegoro I sangatlah sulit
ditandingi oleh pimpinan daerah lain pada zamanya.
Cokronegoro adalah sosok manusia
Jawa tulen. Dalam istilah Jawa, masuk dalam kategori “turasing satria, turuning amaratapa, rembesing madu”. Sebagai
lelaki Jawa Cokronegoro gemar “mesuh
broto” untuk mensucikan rohani dengan cara bertirakat. Karena itu tidak
mengherankan jika Cokronegoro I selain cerdas dalam olah ilmu kaprajan juga mempunyai kawaskitan yang tinggi. Cokronegoro
sosok birokrat yang mumpuni.
Tanpa kecerdasan yang lebih
dibanding priyayai krtaon lainya mustahil Susuhunan Paku Buwono VI dengan rela
menganugerahi keris pusaka. Jika Cokronegoro I bukan orang yang cakap, mana
mungkin karirnya begitu cemerlang dan jabatannya begitu cepat meningkat.
Cokronegoro I adalah seorang prajurit yang pemberani. Prajurit yang dengan
gagah berani maju ke medan perang.
Karena keberanian dan kegagahanya
membuat sejumlah penulis Belanda yang terkenal dengan politik pemecah belahnya
menempatkan Cokronegoro I seakan-akan sidah menjadi “lawan” dari Pangeran
Diponegoro. Kenapa bukan prajurit lain, kenapa bukan komandan lain, kenapa
bukan senopati lain yang sering disebut-sebut “lawan” Pangeran Diponegoro.
Hal tersebut tak lain karena Cokronegoro I
selama perang mampu menunjukkan ketangkasan dan kecerdasannya. Cokronegoro I
bukan saja seorang priyayi, birokrat, maupun prajurit. Tetapi juga seorang
seniman besar pada zamannya. Serat Babad Kedhung Kebo yang ditulis sendiri pada
tahun 1931 adalah bukti karya yang luar biasa. Menariknya, meski dirinya sering
disebut sebagai “lawan” Pangeran Diponegoro namun dalam bukunya tersebut Cokronegoro
tidak pernah memojokkan maupun menyebut Pangeran Diponegoro sebagai seorang
yang serakah dan haus pada kekuasaan.
Dalam buku tersebut Cokronegoro hanya menyebut
kalau dirinya dengan Pangeran Diponegoro semata-mata berbeda arah dan tujuan.
Pangeran Diponegoro bercita-cita ingin membebaskan negerinya dari penjajah
Belanda. Sementara Cokronegoro I melawan Pangeran Diponegoro karena tanah yang
dikuasai oleh pasukan Pangeran Diponegoro tanah milik Kraton Surakarta. Sebagai
prajurit Kraton Surakarta yang sudah mendapat perintah raja, sangat wajar jika
kemudian melakukan perlawanan.
Karena itu sebenarnya sangat
keliru dan kurang bijaksana jika saat ini masih ada yang menulis seakan-akan
Cokronegoro I musuh bebuyutan Pangeran Diponegoro. Sebab dalam buku yang
ditulisnya selalu memanggil Pangeran Diponegoro dengan sebutan “yayi”
(adik). Hanya masing-masing memang punya arah dan tujuan yang berbeda,
sehingga nasibya juga tidak sama.
Pangeran Diponegoro ditipu, ditangkap, kemudian dibuang ke Makasar oleh
Belanda. Sementara Cokronegoro I akhirnya diserahkan oleh Kraton Surakarta
kepada Belanda. Jika dicermati, sebenarnya keduanya telah menjadi korban
politik kolonial. Cokronegoro memang luar biasa, lantaran kecerdasan dan
luasnya wawasannya, dirinya mendapat banyak penghargaan dari Pemerintah Hindia
Belanda. Cokronegoro I pada masa itu sudah menerima penghargaan dari mantan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van den Bosc berupa bedhil pengantin yang
dikirim langsung dari negeri Belanda.
Bentuk bedhil pengantin sangat
bagus. Besinya dicat bakar putih, sementara pada bagian kanan terlihat
garis-garis yang sangat indah. Pemberian bedhil pengantin ini tertulis dalam
buku Kedhung Kebo. Selama ini jarang yang mau mengutarakan perjuangan
Cokronegoro I untuk memperbaiki nasib rakyatnya.
Padahal berkat kegigihan dan
keuletan Cokronegoro dalam membangun daerahnya sehingga Purworejo pada saat itu
dikenal sebagai daerah yang subur makmur, gemah ripah loh jinawi, thukul
kang sarwo tinandhur, murah kang sarwo tinuku.
Kesuburan dan kemakmuran
Purworejo dikenal hingga negeri Belanda. Sehingga cucu Ratu Belanda yang pada
waktu itu mengadakan kunjungan keliling ke semua wilayah melihat Kabupaten
Purworejo sangat berbeda dengan daerah-daerah lain. Hasil bumi di Kabupaten
Purworejo berlimpah dan harganya jauh lebih murah dibanding daerah lain.
Rakyatnya kelihatan hidup tenteram dan damai.
Melihat dari dekat keadaan
Kabupaten Purworejo pada waktu itu, cucu Ratu Belanda merasa kagum dan sangat
sayang kepada Cokronegoro I. Cucu Ratu Belanda tersebut kemudian memberi hadiah
berupa pistol. Penyerahan hadiah dilakukan oleh Residen Begelen dalam suatu
upacara resmi di Kabupaten Purworejo pada tahun
1768 Hijriyah atau 1840 Masehi. Disamping itu Pemerintah Belanda berjanji
menetapkan Cokronegoro I sebagai bupati seumur hidup dan tujuh turunannya akan
menjabat sebagai bupati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar