Rabu, 22 Februari 2012

Cokronegoro I Sulit Dicari Tandingannya




Boleh saja ada sekelompok orang yang mencaci dan berusaha melupakan jasa-jasa Cokronegoro I terhadap daerahnya. Ada juga beberapa orang yang berpikiran negatif terhadap Cokronegoro I. Terlepas dari semua anggapan tersebut, mau tidak mau, suka tidak suka harus diakui jika hasil karya Cokronegoro sampai sekarang masih sangat bermanfaat bagi masyarakat luas. 

Sebut saja irigasi Kedung Putri, hingga kini tetap mampu menghidupi jutaan petani dan sangat membantu masyarakat umum. Jalan raya Purworejo-Magelang, dan Banyumas, sampai sekarang belum tergantikan dan tak terhitung anak manusia yang memanfaatkannya. Dilihat dari sisi pembanguan fisik yang sudah dilaksanakan oleh Cokronegoro I sangatlah sulit ditandingi oleh pimpinan daerah lain pada zamanya. 

Cokronegoro adalah sosok manusia Jawa tulen. Dalam istilah Jawa, masuk dalam kategori “turasing satria, turuning amaratapa, rembesing madu”. Sebagai lelaki Jawa Cokronegoro gemar “mesuh broto” untuk mensucikan rohani dengan cara bertirakat. Karena itu tidak mengherankan jika Cokronegoro I selain cerdas dalam olah ilmu kaprajan juga mempunyai kawaskitan yang tinggi. Cokronegoro sosok birokrat yang mumpuni. 

Tanpa kecerdasan yang lebih dibanding priyayai krtaon lainya mustahil Susuhunan Paku Buwono VI dengan rela menganugerahi keris pusaka. Jika Cokronegoro I bukan orang yang cakap, mana mungkin karirnya begitu cemerlang dan jabatannya begitu cepat meningkat. Cokronegoro I adalah seorang prajurit yang pemberani. Prajurit yang dengan gagah berani maju ke medan perang.

Karena keberanian dan kegagahanya membuat sejumlah penulis Belanda yang terkenal dengan politik pemecah belahnya menempatkan Cokronegoro I seakan-akan sidah menjadi “lawan” dari Pangeran Diponegoro. Kenapa bukan prajurit lain, kenapa bukan komandan lain, kenapa bukan senopati lain yang sering disebut-sebut “lawan” Pangeran Diponegoro.

 Hal tersebut tak lain karena Cokronegoro I selama perang mampu menunjukkan ketangkasan dan kecerdasannya. Cokronegoro I bukan saja seorang priyayi, birokrat, maupun prajurit. Tetapi juga seorang seniman besar pada zamannya. Serat Babad Kedhung Kebo yang ditulis sendiri pada tahun 1931 adalah bukti karya yang luar biasa. Menariknya, meski dirinya sering disebut sebagai “lawan” Pangeran Diponegoro namun dalam bukunya tersebut Cokronegoro tidak pernah memojokkan maupun menyebut Pangeran Diponegoro sebagai seorang yang serakah dan haus pada kekuasaan.

Dalam buku tersebut Cokronegoro hanya menyebut kalau dirinya dengan Pangeran Diponegoro semata-mata berbeda arah dan tujuan. Pangeran Diponegoro bercita-cita ingin membebaskan negerinya dari penjajah Belanda. Sementara Cokronegoro I melawan Pangeran Diponegoro karena tanah yang dikuasai oleh pasukan Pangeran Diponegoro tanah milik Kraton Surakarta. Sebagai prajurit Kraton Surakarta yang sudah mendapat perintah raja, sangat wajar jika kemudian melakukan perlawanan. 

Karena itu sebenarnya sangat keliru dan kurang bijaksana jika saat ini masih ada yang menulis seakan-akan Cokronegoro I musuh bebuyutan Pangeran Diponegoro. Sebab dalam buku yang ditulisnya selalu memanggil Pangeran Diponegoro dengan sebutan “yayi” (adik). Hanya masing-masing memang punya arah dan tujuan yang berbeda, sehingga nasibya juga tidak sama. 
  
Pangeran Diponegoro ditipu, ditangkap, kemudian dibuang ke Makasar oleh Belanda. Sementara Cokronegoro I akhirnya diserahkan oleh Kraton Surakarta kepada Belanda. Jika dicermati, sebenarnya keduanya telah menjadi korban politik kolonial. Cokronegoro memang luar biasa, lantaran kecerdasan dan luasnya wawasannya, dirinya mendapat banyak penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda. Cokronegoro I pada masa itu sudah menerima penghargaan dari mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van den Bosc berupa bedhil pengantin yang dikirim langsung dari negeri Belanda.

Bentuk bedhil pengantin sangat bagus. Besinya dicat bakar putih, sementara pada bagian kanan terlihat garis-garis yang sangat indah. Pemberian bedhil pengantin ini tertulis dalam buku Kedhung Kebo. Selama ini jarang yang mau mengutarakan perjuangan Cokronegoro I untuk memperbaiki nasib rakyatnya. 

Padahal berkat kegigihan dan keuletan Cokronegoro dalam membangun daerahnya sehingga Purworejo pada saat itu dikenal sebagai daerah yang subur makmur, gemah ripah loh jinawi, thukul kang sarwo tinandhur, murah kang sarwo tinuku.
Kesuburan dan kemakmuran Purworejo dikenal hingga negeri Belanda. Sehingga cucu Ratu Belanda yang pada waktu itu mengadakan kunjungan keliling ke semua wilayah melihat Kabupaten Purworejo sangat berbeda dengan daerah-daerah lain. Hasil bumi di Kabupaten Purworejo berlimpah dan harganya jauh lebih murah dibanding daerah lain. Rakyatnya kelihatan hidup tenteram dan damai. 

Melihat dari dekat keadaan Kabupaten Purworejo pada waktu itu, cucu Ratu Belanda merasa kagum dan sangat sayang kepada Cokronegoro I. Cucu Ratu Belanda tersebut kemudian memberi hadiah berupa pistol. Penyerahan hadiah dilakukan oleh Residen Begelen dalam suatu upacara resmi di Kabupaten Purworejo pada tahun 1768 Hijriyah atau 1840 Masehi. Disamping itu Pemerintah Belanda berjanji menetapkan Cokronegoro I sebagai bupati seumur hidup dan tujuh turunannya akan menjabat sebagai bupati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar